Puluhan ribu suporter kesebelasan
Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) merangsek menuju pintu masuk Stadion Mandala
Krida. Hari itu mereka hendak menonton pertandingan sepak bola antara
PSIM melawan Mitra Kukar. Di sekeliling stadion puluhan aparat polisi
tampak berjaga-jaga.
Hari itu Minggu 19 Desember 2010. Sore itu langit tampak biru. Waktu menunjukkan jam tiga sore. Sebentar lagi pertandingan lanjutan laga Divisi Utama Liga Ti-Phone Indonesia akan diadakan di Stadion Mandala Krida. PSIM adalah satu-satunya klub di kota Yogyakarta yang mengikuti liga di tubuh Perserikatan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Markasnya terletak persis di sebelah utara Stadion Mandala Krida. PSIM pertama kali didirikan dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram di Yogyakarta pada 5 September 1929. Nama ini dipilih karena klub sepak bola ini dibentuk di daerah Kerajaan Mataram. Selang setahun, tepatnya pada tanggal 27 Juli 1930, nama Perserikatan Sepak Raga Mataram diubah menjadi Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram atau disingkat PSIM.
Salah satu dari ribuan suporter PSIM yang menyaksikan pertandingan tersebut adalah Yudho Sudanardi. Ia datang bersama empat orang temannya. Sejak duduk di bangku SMA, laki-laki bertubuh gempal ini selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan setiap pertandingan kandang PSIM.
Dalam pertandingan sore itu, Yudho duduk di sisi atas tribun timur stadion, dekat dengan papan skor. Di depan mereka ada puluhan orang berpakaian serba hitam dengan baret merah berlogo Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Mereka tersebar di tribun timur stadion. “Saat saya masuk satgas itu sudah ada di sana. Waktu itu pertandingan belum mulai. Ngga tau kapan datangnya,” jelas Yudho.
Suasana stadion waktu itu sangat riuh. Puluhan ribu suporter PSIM tampak membentuk lautan biru dan mendominasi seisi stadion. Mereka adalah Brajamusti, organisasi suporter yang mendukung kesebelasan PSIM.
Prriiiiiiiitttttt!!! Tak berselang lama wasit meniup peluit panjang pertanda pertandingan dimulai. Pada saat itulah di tribun utara stadion mulai berdatangan orang-orang yang mengenakan pakaian bertuliskan The Maident. Sepintas para suporter melirik ke arah datangnya kelompok tersebut. Jumlah mereka tidak banyak, sekitar seratus orang. Mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil dan duduk di tribun utara. Tepat di bagian kanan satgas. Sama seperti PSIM, The Maident juga merupakan organisasi suporter yang mendukung kesebelasan PSIM.
Keriuhan dalam stadion tersebut tak bisa menutupi konflik antara kedua organisasi suporter yang sama-sama mendukung PSIM tersebut, yaitu Brajamusti dan The Maident. Konflik ini berakar dari persaingan dalam Musyawarah Anggota (Musta) Brajamusti pada 26 September 2010. Musta adalah pertemuan antar laskar yang tergabung dalam Brajamusti. Musta ini diadakan untuk memilih presiden Brajamusti dan kabinetnya.
Beberapa pengurus harian dan anggota Brajamusti yang tidak puas dengan hasil Musta tersebut akhirnya memutuskan untuk membentuk organisasi suporter baru yang mereka namai The Maident. Maident adalah singkatan dari Mataram Independent.
Selama pertandingan, para suporter menyanyikan lagu-lagu untuk menyemangati para pemain di lapangan. Terkadang mereka juga membuat gerakan Mexican wave. Namun, beberapa suporter dari kerumunan Brajamusti juga terlihat kesal dengan keberadaan Satgas PDIP sehingga meneriakan kata-kata umpatan. “Politik jangan dicampurkan dengan sepak bola. Politik itu anjing!” teriak seorang suporter dari kerumunan Brajamusti.
Para penonton yang tidak ikut bernyanyi mulai saling pandang. Sesekali mereka menengok ke kanan dan ke kiri. Kebetulan sebagian kecil penonton yang tidak menggunakan atribut duduk di tengah, termasuk Yudo dan kawan-kawan.. Mereka berada di antara ribuan anggota Brajamusti di sisi kiri, serta Satgas PDIP dan The Maident di sisi kanan.
Pada pertengahan babak kedua, dua kubu suporter PSIM tersebut mulai tak bisa mengendalikan diri. Mereka terdengar saling memaki dan menantang satu sama lain. Situasi pun mulai memanas di tribun timur. Tiba-tiba sebuah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa dilemparkan ke arah kerumunan Brajamusti. Kelompok Brajamusti yang tak terima dengan pelemparan tersebut lantas berdiri dan meneriaki kerumunan The Maident.
Satgas PDIP yang waktu itu duduk di tengah-tengah The Maident juga ikut berdiri. Para Satgas PDIP yang selama pertandingan tampak duduk tenang tiba-tiba menjadi beringas. Mereka menyerang massa yang tampak sebagai anggota Brajamusti.
Penonton yang berada di dekat lokasi tersebut pun berlarian. Beberapa orang mulai terlihat ada yang keluar dari stadion. Mereka tampak saling dorong karena ingin segera keluar dari stadion. Tak terkecuali Yudho dan teman-temannya. “Lha aku lungguh pas tengah-tengah je, yen tempuk lak yo pas nggon ku lungguh, (lha saya duduk tepat ditengah, kalau rusuh kan saya bisa kena),” ungkap Yudho.
Saat kejadian tersebut, Yudho sempat jatuh tersungkur dan menggelinding dari tempat duduk di tribun paling atas hingga bawah karena suporter yang saling dorong. Tempat duduk di Stadion Mandala Krida itu berundak-undak seperti tangga dan terbuat dari semen.
Pada waktu itu penonton memang luar biasa banyak. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa sampai anak-anak. Beberapa penonton bahkan menonton dari atas tembok stadion. Stadion Mandala Krida dipagari oleh dinding beton dengan tinggi sekitar tiga meter. Orang bisa saja masuk ke dalam stadion tanpa melewati pintu masuk.
Di tengah keributan, massa yang terdesak merasa tidak terima dengan perlakukan Satgas PDIP dan membalasnya dengan lemparan batu. “Pada waktu penonton berhamburan keluar, tiba-tiba batu sudah banyak sekali yang dilempar ke arah kerumunan Brajamusti,” tutur Radianto, salah satu suporter PSIM yang juga menonton pertandingan tersebut.
Keributan yang berlangsung sekitar 15 menit itu berisi hujan batu. Suasana yang kacau membuat panitia pertandingan dan wasit yang bertugas terpaksa menghentikan laga pada menit ke 70. Satu Satuan Setingkat Kompi (SSK) Brimob Polda DIY yang datang dari markas tak jauh dari stadion mencoba mengatasi kerusuhan tersebut. Mereka mengusir Satgas dan suporter untuk keluar dari stadion melalui tiga pintu di tribun sebelah utara.
Pria itu memiliki postur tinggi besar. Tingginya kira-kira hampir 180 cm. Tidak gemuk juga tidak terlalu kurus. Warna kulitnya sedikit terang. Pembawaannya tenang dan cenderung hati-hati. Wajahnya oval dan rambutnya nyaris gundul. Sepintas mirip Zinedine Zidane, gelandang serang yang mengantarkan Perancis menjuarai Piala Dunia 1998. Nama pria tersebut adalah Eko Satrio Pringgodani. Bulan September tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi Presiden Brajamusti dengan masa jabatan tiga tahun.
Saya menemui Eko di Rumah Makan Padang miliknya yang bernama Surya. Letaknya di Jalan Pasar Kembang, sebelah pintu masuk selatan Stasiun Tugu. Daerah itu terkenal dengan lokalisasinya. Sehari-hari Eko bekerja di rumah makan tersebut dengan dibantu oleh seorang pelayan.
Saat ditemui, dia baru saja mengantar anak semata wayangnya yang baru berusia 2,5 tahun pulang ke rumahnya di daerah Kotagede. Istrinya, Siti Dini Prihiastuti, saat ini sedang mengandung anak keduanya. Usia kehamilannya sedang menginjak bulan ketujuh. Pasangan ini bertemu di perguruan tinggi tempat mereka menimba ilmu dulu, tepatnya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Eko bukanlah orang baru di kepengurusan Brajamusti. Ia sudah mulai terlibat di dalam Brajamusti sejak organisasi suporter ini pertama kali didirikan. Pada kepengurusan pertama di tahun 2003 dia masuk sebagai anggota. Tiga tahun kemudian, dia diberi kepercayaan untuk menjadi anggota di Departemen Litbang. Lantas pada tahun 2006, dia dipercaya menjadi Ketua Depatemen Kreasi dan Seni. Jabatan terakhirnya sebelum terpilih menjadi Presiden Brajamusti adalah Wakil Sekjen Dua.
Sejak tahun 2007 Eko berusaha membuat Brajamusti bukan hanya sebagai organisasi suporter tetapi juga sebagi organisasi kepemudaan yang bersifat sosial dan non partisan. Hal ini dilatarbelakangi oleh jumlah anggota Brajamusti yang sangat besar. Jumlah suporter yang besar rawan untuk dimanfaatkan, termasuk oleh para politikus. Dia tidak melarang anggotanya untuk berpolitik, namun dia melarang organisasi suporter ini dipolitisir. “Suporter ya supporter, kalau mau bicara politik lepas dulu baju suportermu,” ungkapnya serius.
Anggota Brajamusti tersebar di hampir seluruh kota Yogyakarta. Anggotanya juga ada yang tinggal di luar wilayah kota Yogyakarta seperti di Bantul, Sleman, Kulon Progo, Wonosari, dan Klaten. Anggota Brajamusti terdiri dari banyak kalangan. “Mulai dari anak usia SD, SMP, SMA, S1, S2 ada semua,” tutur Eko.
Brajamusti terbentuk dari laskar-laskar yang menggabungkan diri dalam organisasi suporter Brajamusti. Laskar adalah kelompok kecil suporter. Nama sebuah laskar biasanya identik dengan nama kampung tempat laskar tersebut didirikan. Namun ada pula nama yang dibuat secara bebas, artinya tidak terikat pada nama wilayah tempat laskar tersebut didirikan. Brajamusti merupakan organisasi suporter yang menggantikan organisasi suporter PSIM sebelumnya yang bernama Paguyuban Tresno Laskar Mataram. Hal ini disebabkan karena Paguyuban Tresno Laskar Mataram sudah tidak lagi aktif seperti dulu.
Saat ini terdapat sekitar seratus laskar yang terdaftar di Brajamusti. Meski begitu, masih terdapat banyak laskar yang tidak mendaftarkan diri. “Sangat sulit untuk mendata laskar ini. Kami baru mencoba ingin memperbaiki manajemen pendataan ini,” ujar pria kelahiran 17 April 1971 ini.
Meski telah berbentuk organisasi, namun keanggotaan Brajamusti bersifat terbuka. Setiap orang yang mendukung PSIM bisa menjadi anggota Brajamusti. Eko menyadari benar dinamika yang terjadi dengan sistem terbuka seperti itu. “Setiap orang yang menggunakan baju Brajamusti itu sudah kami anggap anggota. Positifnya anggota kami besar, tapi negatifnya akan banyak penyusup yang selalu mengail di air keruh,” ungkapnya.
Ia memberi contoh dengan merujuk pada sekelompok anak muda yang suka mencari kesempatan untuk tawuran. Baginya, kerusuhan bukan barang mewah di dunia suporter sepak bola. Setiap daerah yang mempunyai klub sepak bola selalu mempunyai cerita itu. “Tapi kan yang jadi jelek akhirnya wadah suporternya. Di Sleman atau Bantul pun sama saja,” tuturnya.
Baginya, menjadi presiden dari organisasi suporter sebesar Brajamusti adalah sebuah pengabdian. “Tidak ada yang berubah dari diri saya karena saya ingin membangun mimpi bahwa jadi presiden itu tidak harus pintar dan kaya tetapi benar-benar mencintai Brajamusti tanpa ada pikiran untuk mencari keuntungan. Jadi presiden Brajamusti itu bukan sesuatu yang sakral. Asal dia mau membangun Brajamusti, visioner dan membawa organisasi ini tidak hanya sekedar suporter namun juga bagi masyarakat non sepakbola,” jelasnya.
Hari itu mungkin akan selalu diingat oleh Eko. Saat itu terdapat empat orang yang terdaftar sebagai calon presiden Brajamusti. Mereka adalah Eko Satrio Pringgodani, Setyo Hadi Gunawan, Prajaka Sindung Jaya, dan Dwi Aji Yusdianto. Mereka berempat akan maju sebagai calon presiden Brajamusti. “Dari keempat calon tersebut, yang mempunyai massa paling banyak itu Mas Eko dan Pak Gun,” ujar Fauzi, salah satu perwakilan laskar yang mengikuti Musta.
Suasana Musta sudah tidak nyaman sejak awal. Ketidaknyamanan ini tidak hanya dirasakan oleh Panitia Pelaksana (Panpel), tetapi juga para peserta. Rumor dan ancaman banyak terdengar di antara laskar-laskar. Musta ini sendiri diadakan pada tanggal 26 September 2010 di Balaikota Yogyakarta. Beberapa polisi, Brigadir Mobil (BRIMOB) dan Satuan Polisi Pamong Praja tampak berjaga-jaga di sekitar area.
Di depan gedung Balikota, sekitar pukul delapan pagi, ratusan orang sudah berkumpul. Mereka membentuk kelompok-kelompok. Hanya ada dua kelompok yang berkumpul dalam jumlah besar. Jumlah mereka sekitar 300 orang. Eko Satrio Pringgodani dan Setyo Hadi Gunawan mempunyai jumlah pendukung yang sama banyaknya.
Fauzi merasakan aura yang berbeda dari pemilihan presiden Brajamusti tahun kemarin. Menurutnya, suasana Musta tahun ini terasa lebih panas. “Pak Gun terlihat sangat berambisi untuk memenangkan pemilihan,” cerita Fauzi. Fauzi merupakan salah satu anggota Brajamusti yang aktif di laskar. Tiga tahun lalu dia juga mengikuti Musta. Tidak ada tekanan sekuat ini di Musta tahun lalu.
Dua minggu sebelum Musta, Panpel sudah mulai mendata laskar-laskar yang tergabung dalam Brajamusti. Laskar-laskar tersebut sebenarnya diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri. Ini kebebasan dari para laskar untuk bergabung di dalam organisasi suporter ini. Dari pendataan tersebut diputuskan jika 159 laskar berhak mengikuti pemilihan. 159 laskar ini terdiri dari 119 laskar dari kota Yogyakarta, 28 Bantul, 8 Kulonprogo dan 4 Sleman. Sehari sebelum pelaksanaan musta, laskar yang berhak disediakan waktu untuk mengambil undangan.
Tanggal 23 September 2010, tiga hari sebelum pelaksanaan Musta, calon presiden Brajamusti diumumkan oleh Panpel. Para calon ini bukan merupakan calon independen. Mereka masing-masing harus didukung oleh minimal tujuh laskar yang ada di Brajamusti agar bisa terdaftar sebagai calon presiden. Maka jauh sebelum pelaksanaan Musta, masing-masing calon sudah mengadakan sosialisasi dan kampanye diantara para laskar.
Waktu pelaksanaan Musta dibuka mundur dari jadwal. Dari rencana awal jam delapan pagi, Musta baru dibuka sekitar jam sembilan pagi. Registrasi peserta sedikit kacau. Para peserta tidak datang tepat waktu. Sejak dibukanya Musta, pendukung Eko dan Gunawan telah mendominasi. Mereka saling serang dengan argumen yang saling menjatuhkan selama pleno berlangsung. Pada sesi pertama, pemilihan ketua sidang pun mencapai jalan buntu. Mereka pun akhirnya melakukan voting.
Pada saat sesi jeda, beberapa individu mendapat tekanan dari orang tak dikenal. “Teman-teman pendukung pak Eko yang sedang berada terpisah dari kelompoknya disuruh pulang. Ngga usah melanjutkan Musta,” terang Fauzi. Padahal pemilihan presiden baru akan dimulai sore nanti.
Pleno kedua musta diisi dengan demisionering pengurus lama dan pembacaan laporan pertanggungjawaban pengurus. Hujan interupsi pun terjadi. Banyak desakan dari beberapa laskar. Salah satunya tentang perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Brajamusti dalam hal jumlah kuota pemilih untuk pengurus lama yang mengikuti Musta. Jika di tahun sebelumnya pengurus demisioner memiliki kuota hak 15 suara, pada Musta ini jumlah itu diperkecil menjadi 1 suara saja.
Sepanjang hari itu tensi Musta semakin meninggi. Laporan dari individu tentang ancaman keselamatan bertambah. Di pertengahan Musta Eko berniat ingin mundur. “Weslah aku mundur wae. Kasian teman-teman laskar kalau di press kayak gini. Biar aja dia yang maju,” ucap Eko. Waktu itu Eko tak kuasa menahan tangis. Ia menangis di tengah perwakilan laskar yang mendukungnya. Sejenak mereka diam, seolah memberi kesempatan pada Eko untuk melepas perasaannya. “Kalau kita mundur Brajamusti mau jadi seperti apa?” ucap seseorang dari kerumunan. Eko pun akhirnya memutuskan untuk tetap maju mencalonkan diri.
Eko sudah menduga akan terjadi preseden di dalam organisasi supporter pertama di Yogyakarta ini. Dari awal sudah ada prediksi jika Brajamusti akan mengalami perpecahan. Jika Eko menang maka Brajamusti terancam pecah. Waktu itu, nama The Maident sudah muncul di permukaan.
Pleno terakhir lagi-lagi terlambat. Pleno mundur sekitar dua jam. Sekitar pukul tujuh malam para peserta baru mulai masuk setelah sebelumnya beristirahat. Aroma ketegangan memenuhi ruangan sidang. Para calon presiden tidak diperkenankan memasuki ruangan sidang. Ratusan polisi dan Satpol PP sudah berjejer. Ruang sidang dipenuhi oleh petugas keamanan yang berjumlah sekitar 200 orang. Mereka juga berjaga-jaga di depan ruang.
Satu persatu perwakilan laskar dipanggil memasuki ruangan. Mereka tampak lebih tenang sekarang. Meski begitu, suasana tetap terasa tegang. Pada pleno itu, Eko Satrio Pringgodani menang dengan 83 suara, Setyo Hadi gunawan 69 suara, Prajaka Sindung Jaya mendapat 7 suara, sedangkan Dwi Aji Yusdianto tidak mendapatkan suara.
Pemilihan presiden
Brajamusti dalam Musta tahun lalu tersebut menjadi titik balik
kemunculan organisasi suporter baru yang didirikan oleh Setyo Hadi
Gunawan dan kawan-kawan setelah mereka kalah suara dari Eko Satrio
Pringodani. 69 laskar yang memilih Gunawan pada Musta memilih hengkang
dari Brajamusti. Mereka membentuk The Maident. Sebagian dari orang-orang
itu adalah bekas pengurus Brajamusti sebelumnya.
The Maident dibentuk tanggal 1 Oktober 2010. Gunawan dipilih sebagai ketua umum. Dia seorang advokat. Hingga sekarang kepengurusan The Maident belum valid. Banyak anggota pengurus yang rangkap jabatan. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan logo The Maident baru di susun. Rencananya, bulan September nanti mereka akan membuat rapat kerja pengurus. Menurut Bondan, jumlah anggota The Maident sekarang sekitar 5 ribu orang. Kebanyakan malah berasal dari daerah Kulon Progo. Bondan merupakan konduktor The Maident di stadion.
Keputusan untuk membentuk organisasi baru ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Selain tudingan Tim Sebelas, adalah bentukan Eko, pihak The Maident juga mempertanyakan transparansi keuangan dalam managemen Brajamsti. Mereka menganggap Brajamusti tidak terbuka tentang subsidi sepuluh persen yang diberikan panitia pertandingan kepada Brajamusti setiap pertandingan kandang. “Pendapatan tiap pertandingan biasanya sekitar Rp 60 juta. Sebanyak Rp 6 juta lalu dikasih ke Brajamusti. Itu belum kalau Panitia Pelaksana (Panpel) ngasih fee tambahan,” terang Bondan.
Isu-isu yang menyangkut kedua kubu lebih keras terdengar setelah Musta selesai digelar. Eko dituding bermain curang dalam pemilihan. Tim Sebelas dituduh sebagai bentukan tim Eko Satrio Pringgodani dan menjadi biang kekalahan. Tim Sebelas adalah lembaga penyelenggara pemilihan presiden Brajausti, semacam Komisi Pemilhan Umum di Indonesia. “Di pemilihan itu tidak diundang laskar-laskar dahulu. Tapi tiba-tiba sudah jadi tim Sebelas,” kata Ardi, salah satu anggota The Maident.
Namun pernyataan itu dibantah oleh Eko. “Saya tidak mengambil keuntungan dari Tim Sebelas karena semuanya transparan. Daftar pemilik suara itu ditunjukkan ke kita semua dan masing-masing menandatangani itu. Artinya semua sudah fix dan menyetujui. Kedua, pemilihan itu dilangsungkan secara tertutup,” tuturnya.
Di sisi lain, Setyo Hadi Gunawan diisukan sebagai boneka politik salah satu calon Walikota Yogyakarta. Waktu itu, berita sangkut paut Musta Brajamusti, perpecahan dan kerusuhan, serta pembentukan The Maident direkatkan dengan semakin dekatnya pemilihan Walikota Yogyakarta pada bulan September tahun ini. “Sebenarnya sih teman-teman The Maident tidak menyambungkannya ke politik. Mungkin itu hanya persepsi orang-orang saja,” ungkap Bondan.
Ikhwal kemunculan isu ini tak lain disebabkan karena Dewan Pembina PSIM adalah Walikota Yogyakarta. “Dia kan Dewan Pembina PSIM. Ia mempunyai tiga visi, sukses suporter, sukses tim, dan sukses pembinaan. Selama ini di Jogja, Dewan Pembina itu selalu walikota. Jika salah satu tujuannya tidak tercapai maka visinya itu gagal. Makanya kemarin Pak Herry bersih kokoh hanya mengakui Brajamusti. Kalau bukan Brajamusti ya engga,” ungkap Bondan.
Sebagai sebuah organisasi suporter baru, The Maident belum mendapatkan pengakuan dari masyarakat. “Terlalu sulit mendapatkan pengakuan di Jogja. Padahal kita sudah total mati-matian membela PSIM. Diantaranya kita kemana-mana datang membela PSIM. Sampai-sampai di Kalimantan, di Papua ada saja orang Jogja yang kerja disana menonton atas nama Maident. Alhamdullilah, temen-temen di Maident menyadari, ini Maident milik saya, bukan saya milik Maident,” tutur Bondan.
Menurut Bondan dan Ardi, The Maident dan Brajamusti sudah tidak bisa bergabung. Pernah suatu kali kedua organisasi supporter ini berusaha melakukan rekonsialiasi dengan mengirimkan audiensi ke Poltabes atau Walikota. Tapi nihil.
Perselisihan antara Brajamusti dan The Maident semakin meruncing setelah Musta. Suatu hari, Ian, seorang komandan lapangan di barisan Laskar Wirobrojo sempat mendapat tekanan setelah Musta. Beberapa hari setelah Musta, dia didatangi orang tak dikenal yang mengancamnya. Saat itu ia sedang duduk di depan warung makan sate Godril, Wirobrajan, tempat dia bekerja. Ia seorang tukang parkir. Mereka menanyakan keberadaan Roli, teman Ian. Roli merupakan seorang koordinator garis keras di barisan suporter Brajamusti.
“Piye?”
“Piye apane?” ian menjawab dengan sedikit nada tinggi.
“Omongke Roli,” pria itu bertanya sembari mengacungkan pedang.
Ian hanya diam saja. Mereka beradu tatap. Sesaat pria itu pergi meninggalkan ian. “Saya diam saja. Kalau ngga didahului saya ngga bakal maju. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa,” tutur Ian.
Perselisihan antara Brajamusti dan The Maident juga terbawa hingga ke dalam stadion. Pada hari rabu, tepat tiga hari setelah Musta, bentrokan antara Brajamusti dan The Maident pecah untuk pertama kalinya. Saat itu PSIM sedang melakukan laga persahabatan melawan Persikabo di Stadion Mandala Krida.
Bentrokan antara Brajamusti dan The Maident pecah berulangkali setelah itu. Puncaknya adalah ketika PSIM menjamu kesebelasan Mitra Kukar di Stadion Mandala Krida. Pada peristiwa itu ratusan sepeda motor rusak dan puluhan orang luka-luka. PSIM dikenai skorsing larangan tanding tanpa penonton pada pertandingan berikutnya dan laga usiran sejauh minimal seratus kilometer dari kandang oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Akhirnya manajemen harus mengeluarkan dana tambahan sekitar Rp 100 juta untuk meminjam Stadion Wergu Wetan Kudus dan membayar akomodasi serata transportasi pemain dan official.
Pada pertandingan melawan Mitra Kukar tersebut, Ketua Dewan Pembina PSIM Herry Zudianto juga sedang menyaksikan jalannya pertandingan dari pinggir lapangan. Sebelumnya Herry sudah berkali-kali mengancam membubarkan tim kebanggaan warga Yogyakarta tersebut jika suporter PSIM terus terlibat tawuran. Bahkan walikota sempat mengancam akan membekukan dana PSIM. Secara pribadi dia mengaku menarik dukungannya terhadap PSIM. Namun sebagai Ketua Dewan Pembina PSIM, ia masih menunggu laporan yang lebih komprehensif tentang kerusuhan tersebut.
“Saya akan tunggu dulu laporannya seperti apa. Sebenarnya PSIM ini mau dibawa ke mana? Kalau memang mau dibawa ke politik, cukup sudah dukungan saya, baik pribadi maupun walikota,” tegas Herry seperti dikutip dari wawancara di kompas.com pada 22 Desember 2010.
Tahun lalu, Komisi D DPRD Kota Yogyakarta yang membawahi penganggaran PSIM mengeluarkan dana dari APBD Kota Yogyakarta untuk PSIM sebesar Rp 5,8 miliar. Perinciannya Rp 4,8 miliar untuk operasionalisasi klub selama mengikuti kompetisi Divisi Utama dan Rp 1 miliar untuk pembinaan usia muda. Dana operasional itulah yang terancam dibekukan. Konon, ancaman itu menandai puasa konflik fisik diantara Brajamusti dan Maident. Sekarang semuanya sudah kembali normal. Amarah mereka sudah berlalu seiring kompetisi liga Ti-Phone yang sudah selesai.
Lain Walikota, lain pula pemain. FX. Harminanto, seorang gelandang serang PSIM, menyatakan kegelisahannya tatkala menyaksikan kerusuhan suporter dari dalam lapangan. Baginya suporter seperti itu hanya akan merugikan klub dan tak panatas disebut suporter. “Jika pertandingan sampai dihentikan, klub bisa saja dikenai sanksi. Paling berat kalau klub yang harus menangung sanksi denda uang dan laga usiran sejauh minimal 100 km dari kandang. Jelas itu merugikan, baik dari sisi psikologis pemain ataupun managemen,” ungkap pemain berusia 22 tahun ini.
Seorang Antropolog yang juga penggila bola asal Muntilan, Jawa Tengah, Nanung Widiyanto, mengungkapkan pandangan dari sisi lain. Baginya suporter bukan hanya penggembira saja, namun juga salah satu sumber pemasukkan untuk klub lewat tiket masuk pertandingan. “Nah, bagaimana penonton lain ingin datang dan menyaksikan pertandingan jika yang disuguhkan bukan lagi permainan klub kesayangan tetapi tawuran antar suporter. Ini sangat merugikan bagi pembangunan industri persepakbolaan di PSIM,” jelas Nanung.
Saat kami mengobrol dengan Nanung, Ian, Fauzi, dan yang lainnya, mereka selalu mengingatkan kami agar berhati-hati di dalam menulis fakta ini. Kekhawatiran mereka berasalan karena saat ini kedua suporter sudah dapat saling mengendalikan diri. Mereka begitu takut, kerusuhan antar kelompok supporter ini akan terulang kembali.
The Maident dibentuk tanggal 1 Oktober 2010. Gunawan dipilih sebagai ketua umum. Dia seorang advokat. Hingga sekarang kepengurusan The Maident belum valid. Banyak anggota pengurus yang rangkap jabatan. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan logo The Maident baru di susun. Rencananya, bulan September nanti mereka akan membuat rapat kerja pengurus. Menurut Bondan, jumlah anggota The Maident sekarang sekitar 5 ribu orang. Kebanyakan malah berasal dari daerah Kulon Progo. Bondan merupakan konduktor The Maident di stadion.
Keputusan untuk membentuk organisasi baru ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Selain tudingan Tim Sebelas, adalah bentukan Eko, pihak The Maident juga mempertanyakan transparansi keuangan dalam managemen Brajamsti. Mereka menganggap Brajamusti tidak terbuka tentang subsidi sepuluh persen yang diberikan panitia pertandingan kepada Brajamusti setiap pertandingan kandang. “Pendapatan tiap pertandingan biasanya sekitar Rp 60 juta. Sebanyak Rp 6 juta lalu dikasih ke Brajamusti. Itu belum kalau Panitia Pelaksana (Panpel) ngasih fee tambahan,” terang Bondan.
Isu-isu yang menyangkut kedua kubu lebih keras terdengar setelah Musta selesai digelar. Eko dituding bermain curang dalam pemilihan. Tim Sebelas dituduh sebagai bentukan tim Eko Satrio Pringgodani dan menjadi biang kekalahan. Tim Sebelas adalah lembaga penyelenggara pemilihan presiden Brajausti, semacam Komisi Pemilhan Umum di Indonesia. “Di pemilihan itu tidak diundang laskar-laskar dahulu. Tapi tiba-tiba sudah jadi tim Sebelas,” kata Ardi, salah satu anggota The Maident.
Namun pernyataan itu dibantah oleh Eko. “Saya tidak mengambil keuntungan dari Tim Sebelas karena semuanya transparan. Daftar pemilik suara itu ditunjukkan ke kita semua dan masing-masing menandatangani itu. Artinya semua sudah fix dan menyetujui. Kedua, pemilihan itu dilangsungkan secara tertutup,” tuturnya.
Di sisi lain, Setyo Hadi Gunawan diisukan sebagai boneka politik salah satu calon Walikota Yogyakarta. Waktu itu, berita sangkut paut Musta Brajamusti, perpecahan dan kerusuhan, serta pembentukan The Maident direkatkan dengan semakin dekatnya pemilihan Walikota Yogyakarta pada bulan September tahun ini. “Sebenarnya sih teman-teman The Maident tidak menyambungkannya ke politik. Mungkin itu hanya persepsi orang-orang saja,” ungkap Bondan.
Ikhwal kemunculan isu ini tak lain disebabkan karena Dewan Pembina PSIM adalah Walikota Yogyakarta. “Dia kan Dewan Pembina PSIM. Ia mempunyai tiga visi, sukses suporter, sukses tim, dan sukses pembinaan. Selama ini di Jogja, Dewan Pembina itu selalu walikota. Jika salah satu tujuannya tidak tercapai maka visinya itu gagal. Makanya kemarin Pak Herry bersih kokoh hanya mengakui Brajamusti. Kalau bukan Brajamusti ya engga,” ungkap Bondan.
Sebagai sebuah organisasi suporter baru, The Maident belum mendapatkan pengakuan dari masyarakat. “Terlalu sulit mendapatkan pengakuan di Jogja. Padahal kita sudah total mati-matian membela PSIM. Diantaranya kita kemana-mana datang membela PSIM. Sampai-sampai di Kalimantan, di Papua ada saja orang Jogja yang kerja disana menonton atas nama Maident. Alhamdullilah, temen-temen di Maident menyadari, ini Maident milik saya, bukan saya milik Maident,” tutur Bondan.
Menurut Bondan dan Ardi, The Maident dan Brajamusti sudah tidak bisa bergabung. Pernah suatu kali kedua organisasi supporter ini berusaha melakukan rekonsialiasi dengan mengirimkan audiensi ke Poltabes atau Walikota. Tapi nihil.
Perselisihan antara Brajamusti dan The Maident semakin meruncing setelah Musta. Suatu hari, Ian, seorang komandan lapangan di barisan Laskar Wirobrojo sempat mendapat tekanan setelah Musta. Beberapa hari setelah Musta, dia didatangi orang tak dikenal yang mengancamnya. Saat itu ia sedang duduk di depan warung makan sate Godril, Wirobrajan, tempat dia bekerja. Ia seorang tukang parkir. Mereka menanyakan keberadaan Roli, teman Ian. Roli merupakan seorang koordinator garis keras di barisan suporter Brajamusti.
“Piye?”
“Piye apane?” ian menjawab dengan sedikit nada tinggi.
“Omongke Roli,” pria itu bertanya sembari mengacungkan pedang.
Ian hanya diam saja. Mereka beradu tatap. Sesaat pria itu pergi meninggalkan ian. “Saya diam saja. Kalau ngga didahului saya ngga bakal maju. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa,” tutur Ian.
Perselisihan antara Brajamusti dan The Maident juga terbawa hingga ke dalam stadion. Pada hari rabu, tepat tiga hari setelah Musta, bentrokan antara Brajamusti dan The Maident pecah untuk pertama kalinya. Saat itu PSIM sedang melakukan laga persahabatan melawan Persikabo di Stadion Mandala Krida.
Bentrokan antara Brajamusti dan The Maident pecah berulangkali setelah itu. Puncaknya adalah ketika PSIM menjamu kesebelasan Mitra Kukar di Stadion Mandala Krida. Pada peristiwa itu ratusan sepeda motor rusak dan puluhan orang luka-luka. PSIM dikenai skorsing larangan tanding tanpa penonton pada pertandingan berikutnya dan laga usiran sejauh minimal seratus kilometer dari kandang oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Akhirnya manajemen harus mengeluarkan dana tambahan sekitar Rp 100 juta untuk meminjam Stadion Wergu Wetan Kudus dan membayar akomodasi serata transportasi pemain dan official.
Pada pertandingan melawan Mitra Kukar tersebut, Ketua Dewan Pembina PSIM Herry Zudianto juga sedang menyaksikan jalannya pertandingan dari pinggir lapangan. Sebelumnya Herry sudah berkali-kali mengancam membubarkan tim kebanggaan warga Yogyakarta tersebut jika suporter PSIM terus terlibat tawuran. Bahkan walikota sempat mengancam akan membekukan dana PSIM. Secara pribadi dia mengaku menarik dukungannya terhadap PSIM. Namun sebagai Ketua Dewan Pembina PSIM, ia masih menunggu laporan yang lebih komprehensif tentang kerusuhan tersebut.
“Saya akan tunggu dulu laporannya seperti apa. Sebenarnya PSIM ini mau dibawa ke mana? Kalau memang mau dibawa ke politik, cukup sudah dukungan saya, baik pribadi maupun walikota,” tegas Herry seperti dikutip dari wawancara di kompas.com pada 22 Desember 2010.
Tahun lalu, Komisi D DPRD Kota Yogyakarta yang membawahi penganggaran PSIM mengeluarkan dana dari APBD Kota Yogyakarta untuk PSIM sebesar Rp 5,8 miliar. Perinciannya Rp 4,8 miliar untuk operasionalisasi klub selama mengikuti kompetisi Divisi Utama dan Rp 1 miliar untuk pembinaan usia muda. Dana operasional itulah yang terancam dibekukan. Konon, ancaman itu menandai puasa konflik fisik diantara Brajamusti dan Maident. Sekarang semuanya sudah kembali normal. Amarah mereka sudah berlalu seiring kompetisi liga Ti-Phone yang sudah selesai.
Lain Walikota, lain pula pemain. FX. Harminanto, seorang gelandang serang PSIM, menyatakan kegelisahannya tatkala menyaksikan kerusuhan suporter dari dalam lapangan. Baginya suporter seperti itu hanya akan merugikan klub dan tak panatas disebut suporter. “Jika pertandingan sampai dihentikan, klub bisa saja dikenai sanksi. Paling berat kalau klub yang harus menangung sanksi denda uang dan laga usiran sejauh minimal 100 km dari kandang. Jelas itu merugikan, baik dari sisi psikologis pemain ataupun managemen,” ungkap pemain berusia 22 tahun ini.
Seorang Antropolog yang juga penggila bola asal Muntilan, Jawa Tengah, Nanung Widiyanto, mengungkapkan pandangan dari sisi lain. Baginya suporter bukan hanya penggembira saja, namun juga salah satu sumber pemasukkan untuk klub lewat tiket masuk pertandingan. “Nah, bagaimana penonton lain ingin datang dan menyaksikan pertandingan jika yang disuguhkan bukan lagi permainan klub kesayangan tetapi tawuran antar suporter. Ini sangat merugikan bagi pembangunan industri persepakbolaan di PSIM,” jelas Nanung.
Saat kami mengobrol dengan Nanung, Ian, Fauzi, dan yang lainnya, mereka selalu mengingatkan kami agar berhati-hati di dalam menulis fakta ini. Kekhawatiran mereka berasalan karena saat ini kedua suporter sudah dapat saling mengendalikan diri. Mereka begitu takut, kerusuhan antar kelompok supporter ini akan terulang kembali.
***
Bangunan yang terletak di tanah lapang ini mirip pos ronda. Luas bangunan ini sekitar 3x4 meter. Tiang penyangga atapnya terbuat dari bambu. Di dinding tengah bangunan tersebut terpampang nyaris penuh backdrop bergambar kepala banteng bermoncong putih, logo dari salah satu partai politik negeri ini.
Bangunan tersebut adalah sekretariat sementara The Maident. Di depan tanah lapang itu terdapat sebuah warung angkringan. Anggota The Maident banyak yang nongkrong di sana setiap malam, termasuk Bondan, Grego dan Ardi. Mereka adalah pengurus The Maident.
Bondan berperawakkan gagah. Tingginya sekitar 175 cm. Dulu dia merupakan mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional, namun saat ini ia sudah berhenti kuliah. Ardi lain lagi, dia berperawakan pendek dan gemuk. Di The Maident, Ia merupakan seorang bendahara.
Saat mengobrol dengan mereka disana, kami disuguhi segelas teh hangat dari angkringan dan sebungkus rokok Gudang Garam. Mereka menyambut kami dengan sangat ramah. Bagi mereka, suporter juga harus menjaga dan menanamkan slogan my game is a fair play. “Kalau kita jadi suporter tapi tidak menanamkan sikap itu memang susah mas, ya kan? Jadi kita memang harus menata lagi supaya jadi suporter itu ya harus fair, yang dewasa. Tapi kalau ada hal-hal lain, yo wis lah, itu hanya sepakbola,” ungkap Bondan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar